Abdullah Al-Mubarak adalah seorang ahli hadis serta hartawan yang dermawan yang sudah bertobat dan mendapat pencerahan cahaya Ilahiah sejak ia masih muda. Suatu hari, anak muda itu tergila-gila kepada seorang gadis. Ia pun terus menerus dirundung gundah gulana yang sangat dalam. Ia memuja dan mendambakan kekasih hatinya, setiap menit selalu teringat si jantung hati. Suatu malam, di musim dingin, ia berdiri di bawah jendela kamar sang kekasih, menunggu sang pujian. Ia rela berlama-lama di situ sekedar untuk menatapnya, walau hanya sejenak. Butiran-butiran salju yang membasahi bajunya tak membuatnya gentar. Ia tetap saja termangu sepanjang malam, berharap si cantik menampakkan parasnya.
Sesaat terdengar alunan azan, memecah keheningan hari yang beranjak menjadi malam. Dingin dan senyap. Tapi, justru saat itulah cintanya melampaui ruang dan waktu, mengalahkan dinginnya malam. Tak terasa ia sudah berjam-jam terpaku di sana. Dan ketika terdengar lagi alunan azan membelah keheningan alam, ia mengira waktu sudah masuk Isya. Tapi, beberapa saat kemudian sang surya mulai menampakkan diri, dan cahayanya memancar ke segala penjuru bumi. Saat itu barulah tersadar betapa ia sudah begitu terlena gara-gara mendambakan asmara. Dan tiba-tiba ia pun menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang tak bermanfaat. “Wahai putra Mubarak yang tak tahu malu! Di malam yang begitu dingin engkau dapat tegak terpaku sampai pagi hanya untuk memuaskan hasrat pribadimu. Tapi, bila seorang Imam membaca surah yang panjang, engkau malah gelisah bahkan kesal,” begitu bisik hatinya.
Maka sejak saat itu ia merasa seakan telah mendapatkan cahaya Ilahi yang menyejukkan hati. Dan sejak itu pula ia bertobat, menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah SWT, tak ada waktu luang yang tak diisinya dengan ibadah. Sehingga suatu hari, ketika memasuki taman di sekitar rumahnya, ibunya melihat anaknya itu sedang tertidur di bawah serumpun mawar, sementara seekor ulat dengan bunga narkisus di mulutnya mengusir lalat yang hendak mengusik pemuda alim dan saleh itu.
Nama lengkap pemuda itu Abu Abdurrahman Abdullah bin Al-Mubarak Al-Hanzhali Al-Marwazi. Ia lahir di Merv, Persia (kini Iran), pada 118 H/736 M, dari seorang ayah keturunan Turki dan ibu berdarah Persia. Setelah bertobat, Abdullah bin Al-Mubarak meninggalkan Merv untuk berguru pada syekh di Baghdad dan Mekah. Beberapa tahun kemudian ia pulang kampung ke Merv, disambug oleh warga kota dengan sangat hangat. Ia memang sosok ulama yang dapat diterima oleh semua kalangan, khususnya dua kelompok yang selalu bersilang pendapat: kelompok sunnah dan kelompok fikih. Di kota kelahirannya itu ia mendirikan dua sekolah tinggi, yang satu untuk golongan sunnah dan satu lagi untuk golongan fikih.
Belakangan ia kembali ke Hijaz dan Mekah, menetap untuk kedua kalinya. Di Mekah, selain menunaikan ibadah haji, juga berdagang. Keuntungannya selalu ia bagikan kepada para pengikutnya dan fakir miskin. Ia biasa membagi-bagikan kurma kepada orang-orang miskin, dan menghitung biji kurma yang mereka makan. Mereka yang makan kurma paling banyak diberi hadiah satu dirham untuk setiap biji.
Al-Mubarak dikenal sebagai manusia yang selalu menjaga setiap amal perbuatannya, dan berusaha menjaga kesalahan. Suatu ketika, ia bepergian dari Merv ke Damaskus hanya untuk mengembalikan sepucuk pena yang ia pinjam dari sahabatnya. Ia lupa mengembalikannya. Di lain waktu ia ke masjid untuk shalat sementara kudanya yang mahal ia tambatkan di depan masjid. Setelah shalat, kudanya hilang. Iapun bertanya kepada seseorang di pelataran masjid. “Apakah engkau melihat kudaku?”. Jawab orang itu “Tadi kulihat kudamu menerobos ke sebidang ladang gandum.” Iapun lalu meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Dalam hati ia bergumam, “Kudaku pernah mengganyang gandum di kebun orang. Biarlah kuda diambil sipemilik kebun sebagai pengganti gandum yang dimakannya.”
Pada kesempatan lain, Al-Mubarak melewati sebuah daerah yang penduduknya mengenal kesalahannya. Mendengar kabar kedatangan Al-Mubarak itu warga berduyun-duyun menyambutnya. Seorang anak muda mengabarkan hal itu kepada seorang buta, “Mintalah kepadanya segala sesuatu yang engkau butuhkan.” Si buta pun menunggu di depan rumahnya. “Beri tahu aku kalau Al-Mubarak sudah melintas di depan rumah,” katanya kepada si pemuda. Tak lama kemudian, ia mendengar langkah seseorang. “Dialah Al-Mubarak,” bisik si pemuda ke telinga si buta.
“Wahai Al-Mubarak, berhentilah sejenak!” seri si buta. “Bisakah engkau menolongku? Berdoalah kepada Allah SWT untuk mengembalikan penglihatanku ini,” pintunya. Sejenak Al-Mubarak menundukkan kepala lalu berdoa. Beberapa saat kemudian, si buta bisa melihat kembali. “Demi Allah, aku tak akan melupakan jasamu,” kata si buta terkaget-kaget dan tak henti-hentinya bersyukur.
Ketika bermukim di Mekah, Al-Mubarak pernah gelisah. Usia menyempurnakan ibadah haji, ia lelah hingga tertidur lelap. Ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit dan berbincang-bincang. “Berapa orangkah yang telah menunaikan haji tahun ini?” tanya salah satu malaikat itu. “Enam ratus ribu orang,” jawab satunya. “Berapa orang di antara mereka yang diterima ibadah hajinya?” tanya yang satu. “Tidak seorangpun!” jawab yang lain. Mendengar perbincangan itu, Al-Mubarak gemetar. “Bukankah mereka telah datang dari pelosok negeri yang jauh, rela melewati lembah curam dengan susah payah, bahkan ada yang melintasi padang pasir yang panas. Tapi semua itu sia-sia?” lanjut malaikat yang satu. “Ada seorang tukang sepatu di Damaskus bernama Ali bin Al-Muwaffiq. Ia tidak datang ke Baitullah, tapi ibadah hajinya diterima dan segala dosanya dihapuskan Allah,” sahut malaikat satunya. Mendengar penjelasan itu, Al-Mubarak kaget dan terjaga dari tidurnya. “Aku harus ke Damaskus menemui Ali bin Muwaffiq,” katanya dalam hati.
Keesokan harinya ia berangkat ke Damaskus. Sampai di sana, ia bertanya kepada setiap orang tentang keberadaan Ali Al-Muwaffiq. Salah seorang penduduk menunjuk seorang tukang sepatu. Dialah Ali Al-Muwaffiq. Maka Al-Mubakar mengisahkan perihal mimpinya. Lalu ia pun mendesak agar Ali Muwaffiq menceritakan apa yang telah ia kerjakan sehingga ibadah hajinya diterima oleh Allah padahal tidak berangkat ke tanah suci. Maka berceritalah Ali Muwaffiq, “Telah 30 tahun lamanya aku bercita-cita menunaikan ibadah haji. Dari membuat sepatu aku berhasil menabung uang 350 dirham. Aku bertekad akan ke Mekah pada tahun ini juga. Kebetulan ketika itu istriku sedang mengidam dan mencium bau makanan dari rumah sebelah. Ie mendesak agar aku minta makanan itu sedikit. Aku pun pergi ke rumah sebelah untuk minta sedikit makanan yang baunya sedap itu.”
Tapi tetangga itu menangis. “Tiga hari lamanya anak-anakku tidak makan. Dan siang tadi aku melihat ada seekor keledai tergeletak mati. Maka aku pun menyayat dagingnya sekerat. Lalu memasaknya,” tuturnya lirih. Ali Muwaffiq sedih mendengar cerita itu. “Makanan ini tidak halal. Tunggulah sebentar!” ujar Ali, lalu mengambil tabungannya sebanyak 350 dirham itu dan menyerahkan semuanya kepada sang tetangga. “Gunakanlah uang ini untuk anak-anakmu,” pesannya. Al-Mubarak terkesima. “Malaikat itu telah berbicara dengan sebenar-benarnya di dalam mimpiku. Dan Penguasa Kerajaan Surga benar-benar adil dalam pertimbangan-Nya,” katanya.
Selain dikenal sebagai ulama dan wali, Al-Mubarak juga seorang ahli hadis yang terkemuka. Selain itu, ia pun ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain sastra dan tata bahasa. Bukan hanya itu, ia juga dikenal sebagai saudagar yang dermawan, sering memberi bantuan kepada fakir miskin. Wali yang alim ini wafat pada 181 H/797 M di kota Hit, Irak, sebuah kota kecil yang indah di tepi Sungai Euphrat.
0 komentar