“Saya belum bisa berjilbab,” demikian jawab saya setiap kali ada orang menasehati untuk berjilbab, bahkan sambil membacakan ayat-ayatnya. Dalam hati, saya tertawa. Apa arti berjilbab, kalau yang saya temui selalu membuat saya semakin bertanya, apa arti berjilbab.
Pemandangan di dalam angkutan umum yang saya temui saat pulang kerja, membuat saya makin jauh dari keinginan berjilbab. Sepasang manusia beradegan seperti di sinetron atau film roman, padahal si wanita menggunakan jilbab yang tertutup rapat. Seorang teman mengaku, melihat dengan mata kepala sendiri wanita ayu berjilbab sedang merogoh saku pengunjung di pertokoan. Dalam pergaulan sehari-hari, masih banyak wanita berjilbab yang tutur kata dan perilakunya sangat jauh, bahkan bertentangan dengan perilaku Islami. Antara lain meremehkan orang yang tidak berjilbab, menyanjung orang yang berkedudukan atau kaya, meremehkan lembaga keluarga, baik anak maupun suaminya. Padahal dahinya menunjukkan shalatnya tekun dan fasih menyitir ayat-ayat Al-Qur’an.
Bingung saya melihat fenomena tersebut, sedang saya merasa kemampuan membaca Al-Qur’an saya sangat minim, bacaan shalat saya pendek-pendek. Walau demikian, saya sungguh menikmati bacaan ayat-ayat itu. Terkadang, terlintas pertanyaan di benak saya, apakah saya yang terlalu banyak berharap, sehingga kecewa melihat kenyataan seperti itu. Saya merasa belum pantas memakai jilbab karenanya.
Bila keinginan untuk memakai jilbab muncul, hal itu segera luntur oleh bayangan-bayangan tadi. Ujung-ujungnya saya meragukan keikhlasan saya menjadi muslimah. Kalau berjilbab, saya merasa harus siap dulu dalam hal agama, membaca Al-Qur’an, hafal banyak surah, shalat dan puasa sunnah tak pernah putus, dan juga berperilaku sangat Islami. Kegamangan selalu menyelimuti diri saya. Mampukah saya berjilbab setiap hari di tengah kegerahan kota ini? Lebih gamang lagi ketika seorang tokoh dalam suatu kesempatan berkata, “Jangan pakai jilbab, jika belum menguasai Al-Qur’an.” Alangkah beratnya membayangkan hal itu. Kalau begitu seharusnya orang yang berjilbab itu ilmu agamanya sudah tingkat tinggi. Tapi fenomena yang saya lihat, kok enggak ada bedanya dengan yang tidak berjilbab, bahkan kadang yang tidak berjilbab, akhlaknya lebih baik.
Rasa ingin tahu membuat saya berburu di internet, buku-buku, majalah, mendengarkan penuturan para ahli agama tentang penerapan jilbab di Indonesia. Apakah merupakan budaya Arap yang ditransfer begitu saja dan dianggap milik Islam, atau memang Islam sebagai sumber jilbab. Apakah wajib atau sunnah? Ataukah hanya menyesuaikan dengan situasi zaman dulu, karena pada zaman jahiliyah bangsa Arab terkenal “ganas” melihat aurat wanita?
Sambil terus berusaha mencari jawaban atas kegalauan hati terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, saya tetap berpegang pada perbaikan akhlak, perilaku, dan tutur kata, ingin berjilbab.
Suatu hari, ayah membawa tiga helai kerudung yang indah dan halus. “Pilih satu buatmu, yangdua akan ayah berikan pada adik dan iparmu. Siapa tahu suatu saat, kalian memakai jilbab,” pesan ayah. Kuraih sehelai yang bernuansa ungu, yang menurutku manis, sembari mengucap terima kasih pada ayah. Untuk menyenangkan beliau, kerudung itu saya pakai ketika jalan-jalan bersama keluarga. Kerudung itu kuikat ke belakang seperti gipsi Amerika. Kayaknya asyik, tapi pakaian tetap biasa. Hal itu sering saya lakukan. Kenyamanan yang kuperoleh dengan memakai kerudung adalah rambut tidak cepat kotor terkena debu jalanan. Lambat laun, saya merasa nyaman bercelana panjang dan berlengan panjang. Tapi ternyata cara itu saya dianggap melecehkan jilbab. “Kalau pakai (jilbab” jangan kadang-kadang, itu namanya pelecehan terhadap jilbab dan jangan berniat menutupi rambut atau mode saja. Niatnya harus benar-benar karena wajib dan dipakai terus.” Mendengar hal itu hati saya jadi tidak enak. Secara jujur, yang mendorong saya memakai jilbab adalah biar aman. Akibatnya, saya sempat berhenti memakai jilbab.
Suatu hari, saya menghadiri pengajian yang kebetulan membahas jilbab. Dalam ceramah, Ustaz mengatakan, “Janganlah islam dikenalkan dengan berbagai persyaratan, sehingga orang mundur bila mau mengenal lebih jauh Islam. Biarkanlah semuanya menjadi suatu proses belajar, sehingga orang merasakan manfaatnya dan merasa membutuhkan, hingga tak mampu meninggalkan Islam karena kerinduan batinnya.”
“Kalau demikian, saya juga boleh berproses dalam memakai jilbab,” pikir saya kala itu. Kalau saat ini niat saya hanya untuk mencoba, mungkin suatu saat bisa beralih ke niat yang lebih sesuai. Kalau saat ini hanya dipakai sewaktu-waktu, mungkin dengan banyak belajar, mudah-mudahan suatu saat saya mantap untuk memakai jilbab seterusnya. Memang, kadang saya masih bimbing, ingin bergaya sesuai usia saya yang masih terhitung muda. Di sisi lain, saat pulang kerja malam, saya merasa lebih aman dan terlindungi bila memakai jilbab di angkutan umum. Di sisi yang lainnya, saya terganggu bila membayangkan suami berpaling ke wanita lain bila si istri memakai jilbab. Hadis-hadis yang saya baca juga tidak memuaskan karena hanya mengutip ayat, berjilbab itu suatu keharusan tapi tidak ada penjelasan.
Sampai akhirnya, tak terasa setiap berangkat kerja, saya membaca jilbab di tas. Ketika akan naik bus, saya memakainya sambil mohon perlindungan Allah. Masalahnya, beberapa kali saya dilecehkan orang saat di kendaraan umum, meskipun saya selalu berpakaian rapat. Saya merasa pilu diperlakukan seperti itu. Saya hanya bisa mengadu kepada Allah dalam hati. Setiap dekat tempat kerja, saya lepas jilbab, karena merasa belum siap dan belum pintar dalam agama.
Dorongan memakai jilbab semakin kuat, namun kebimbangan juga masih membayangi. Saya sering melakukan shalat malam mohon petunjuk. Menjelang malam-malam terakhir Ramadhan, saya memohon hidayah-Nya, agar dapat segera menentukan pilihan. Suatu hari, saya bertanya pada suami, apakah saya pantas berjilbab. “Kenapa tidak, kan lebih sopan daripada pakaian mini atau nggak karuan,” jawabnya. Saya perhatikan ekspresi wajahnya tidak tampak kaget. “Kalau begitu, saya minta izin, suatu saat saya akan memakainya terus. Saat ini, saya baru coba-coba,” kata saya. Reaksinya sangat melegakan, dia memeluk saya.
“Kalau ikutan berpakaian buka-buka, aku malah marah,” katanya lembut, tapi mesra. Saya merasa perlu minta izin suami, agar kekhawatiran saya, dia berpaling ke wanita lain, lenyap. Tapi, bisakah dimungkiri adanya kekhawatiran semacam itu pada setiap wanita yang berjilbab? Biarlah, saya pasrahkan pada Allah saja.
Pada hari-hari akhir Ramadhan, nurani saya berontak, ketika saya akan melepas jilbab, kebiasaan yang selama itu saya lakukan. “Buat apa dilepas, saya harus tetap memakainya, terserah orang mau menilai. Yang penting saya merasa sreg memakai jilbab dan sadar konsekuensinya, perilaku saya harus lebih baik dari sebelumnya.”
Jadilah hari itu - yang saya lupa persisnya – saya berjilbab sepanjang hari sampai saya sendiri heran dengan keputusan saya. Apakah ini yang namanya berkah Ramadhan? Teman-teman yang setuju dengan keputusan saya menanyakan dasar keputusan saya. Saya hanya bisa tersenyum, saya dan Allah yang tahu, biar Allah yang menilai. Saya yakin, semua perubahan membutuhkan proses.
Awalnya, banyak hal yang bisa membuat saya merah, namun saya bisa meredam gejolak emosi dengan membaca istighfar. “Ini cobaan saya untuk lebih bersabar. Kalau saya marah, mencela orang, dendam, rasanya malu sama komitmen saya, berjilbab bukan sekadar menutup aurat, melainkan juga melakukan perbuatan baik, amal saleh, dan kesabaran. Segalanya perlu proses, jadi saya tak boleh memandang diri paling baik dan paling islami serta memandang rendah orang lain yang tidak memakai jilbab. Kemuliaan jilbab dapat terjaga, kalau saya berperilaku sesuai dengan islam,” pikir saya.
Kejutan yang membuat saya bahagian muncul dalam selisih hari saja. Teman kerja saya jadi punyai keberanian memakai jilbab, bahkan ibu saya bila keluar rumah juga memakai jilbab. Kini, saya berusaha dan berdoa, mudah-mudahan saya dapat “memakai” jilbab ini sampai ke ujung pikiran, ke semua raga, dan ke sudut-sudut nurani.
Oleh : Amalia Ifa Kartika

1 Responses to Mencari Makna Sehelai Jilbab

  1. Prien Rockz Says:
  2. like this.q jg gi blajar untuk memakai jilbab.smoga bs sperti mbak,bs selamanya memakai jilbab...

     

Posting Komentar

Berikan komentar anda tentang artikel di atas, komentar yang tidak sopan/spam tidak akan dipublikasikan :

.

http://Link-exchange.comxa.com literatur islam, info software dan hardware, tips blogger, syiah sesat, sejarah islam nusantara Kostenlose Backlinks bei http://www.backlink-clever.de

Subscribe here