Abdullah bin Hadzafah adalah salah seorang sahabat yang jarang disebut dan diperkenalkan orang. Di zaman khalifah kedua, Umar bin Khattab, ia diangkat menjadi komandan pertempuran menghadapi tentara Rum yang sering mengganggu kaum Muslimin di dekat Syam (Syiria). Malang bagi nasibnya karena kekuatan jauh berbeda dan sangat tidak seimbang, maka dia ditawan bersama anak buahnya. Kemudian Abdullah bin Hadzafah dibawa menghadap oleh tentara Rum itu kepada raja mereka. Maka terjadilah dialog antara Raja dan Abdullah bin Hadzafah. Raja : “Sudilah engkau masuk ke dalam Agama Nasrani, saya akan mengajak engkau duduk dalam pemerintahan saya dan saya akan mengawinkan engkau dengan anak kandung saya!”. Abdullah : “Andaikata engkau memberikan kepada saya segala apa yang dimiliki orang Arab agar supaya saya murtad dari agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. walaupun agak sebentar, pasti saya tidak mau berbuat demikian.” Raja : “Kalau begitu engkau akan saya bunuh.” Abdullah : “Engkau boleh berbuat demikian!”.

Raja Rum itu pun memerintahkan untuk membunuhnya, maka ia pun disalibkan. Dalam keadaan tersalib itu Raja Nasrani itu memerintahkan kepada regu penembak untuk menembaknya. Mereka juru tembak itu menembaknya dekat kedua tangan dan kakinya (rupanya peluru tidak mengenainya, ataukah peluru itu tidak mempan kepadanya). Dalam pada itu Raja mendesak kepadanya supaya masuk agama Nasrani, tetapi Abdullah tetap menolaknya. Kemudian Raja memerintahkannya supaya diturunkan dari kayu salib.

Ada riwayat lain yang mengatakan, bahwa dia kemudian dimasukkan ke dalam kuali besar dan dipanaskan dengan api, dan dalam penderitaan yang sangat serta perlakuan yang kejam sadis itu Raja menawarkannya supaya masuk agama Nasrani lagi; tetapi ia tetap menolak, sambil menangis ia berkata: “Jangan kalian salah mengerti,” katanya kepada Raja itu: “bahwa saya menangis hanyalah karena mengingat nyawa saya ini saying hanya satu, tak ada yang lain lagi untuk dapat dimasukkan juga ke dalam kancah kuali yang panas menggelegak ini sebagai siksaan dan pengorbanan di jalan Allah. Maka dari itu saya ingin agar seluruh bulu rambut yang melekat di badan saya ini turut merasakan siksaan ini karena Allah dan pada jalan Allah.”

Riwayat lain mengatakan bahwa Raja itu memenjarakannya dan tidak diberi makanan dan minuman beberapa hari, dan dalam keadaan haus dan lapar yang sangat itu dikirimilah dia minuman khamar dan daging babi, tetapi ia tidak mau mendekati makanan dan minuman yang terlarang (haram) menurut ajaran agama Islam itu. Kemudian Raja Nasrani memanggilnya dan kemudian bertanya kepada Abdullah kenapa gerangan dia tidak mau menyentuh makanan yang dikirimkannya itu padahal ia dalam keadaan letih karena haus dan lapar. Raja: “Apakah yang melarangmu makan?”. Abdullah: “Sebenarnya makanan dan minuman itu dalam keadaan yang begini, telah halal bagiku, tetapi aku tidak ingin menggembirakan engkau dengan perbuatanku itu.” Raja: “Kalau begitu maukah engkau mencium kepalaku dan aku kelak akan melepaskan engkau.” Abdullah: “Aku mau mencium kepalamu dengan syarat, bahwa engkau melepaskan juga semua kaum muslimin yang ditawan.” Raja: “Ya, baiklah!”. Maka Abdullah pun mencium kepala Raja Nasrani itu demi kebebasan kawan-kawannya yang ditawan, maka kemudian Raja itu pun melepaskannya dan juga seluruh tawanan kaum Muslimin yang berada di tangan Raja itu.

Maka sekembalinya di ibu kota Madinah, ia disongsong dan dielu-elukan oleh kaum Muslimin, dan Khalifah Umar bin Khattab pun mengumumkan kepada segenap kaum Muslimin supaya mencium kepala Abdullah bin Hadzafah, komandan yang berani dan memiliki mental baja itu, dan ia mengatakan bahwa dia (Umar)-lah orang yang pertama kali memulai mencium. Kemudian ia berdiri mendekati Abdullah bin Hadzafah untuk menghormati keberanian dan keperwiraannya, dan diciumnyalah Abdullah bin Hadzafah, yang kemudian disusul oleh rakyat ramai. Mudah-mudahan Allah memberi kerelaan kepada keduanya!”

Demikianlah bekas pengaruh iman tauhid yang mendalam mendarah daging bagi seseorang yang menganutnya, ia tahan uji dan berani dalam menghadapi resiko dari keimanan dan ketauhidan itu sendiri seperti halnya yang dialami dan diderita sahabat Rasulullah, Abdullah bin Hadzafah dengan segala ujian, cobaan,musibah dan tantangan-tantangan berat yang dihadapinya dalam tahanan Raja Rum-Nasrani itu, silih berganti, habis yang satu dating yang lain. Ya,iman dengan resiko atau iman dengan ujian dan tantangan, adalah merupakan dwi-tunggal yang jarang berpisah. Begitupula para sahbat Rasulullah saw mempraktikkan ajaran Nabinya dalam mengahadi suka-duka hidup, menghadapi irama perjuangan yang senantiasa memerlukan mental yang tinggi, urat-urat syaraf bagaikan kawat dan watak karakter yang kuat kukuh bagaikan batu karang di tengah lautan.

Demikian pula halnya dengan para Alim-Ulama pada zaman Tabiin dan Tabi’ut Tabiin yang termasuk kategori “Warastatul Anbiya” yang disebut baginda Rasulullah dalam sabda beliu, seperti halnya dengan Hasan Basri, Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, Ahmad bin Hambal, Sufyan as-Tsauri, Al-Ghaali, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain Ulama yang mempunyai karakter terpuji karena keteguhan dan istiqamahnya dalam keyakinannya berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasul.

0 komentar

Posting Komentar

Berikan komentar anda tentang artikel di atas, komentar yang tidak sopan/spam tidak akan dipublikasikan :

.

http://Link-exchange.comxa.com literatur islam, info software dan hardware, tips blogger, syiah sesat, sejarah islam nusantara Kostenlose Backlinks bei http://www.backlink-clever.de

Subscribe here