Imam Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang luar biasa keberaniannya, karena selain sebagai seorang pahlawan ilmu pengetahuan, juga beliau adalah mujahid, pahlawan perang menghadapi Tartar waktu tentara Hulako itu menyerbu ke negeri-negeri Islam. Karena fatwa-fatwanya yang berani, dan misinya untuk mengajak umat manusia supaya kembali kepada Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dengan semurni-murninya, bebas dari syirik dan bid’ah yang sangat subur waktu itu, maka sebagai konsekuensinya beliau menerimanya dengan tulus sebagai takdir Tuhan. Beliau dipenjarakan karena fitnah-fitnah lawan-lawannya, dan karena ketakutan pemerintah waktu itu karena pengaruhnya yang sangat besar kepada rakyat. Berkali-kali beliau dijebloskan ke dalam penjara, dan meninggal dalam penjara militer yang terletak di benteng Damaskus. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pun didatangi oleh pemerintah yang diwakili oleh Menteri Syamsuddin untuk meminta maaf kepada beliau kalau-kalau ia telah teledor, telah melanggar hak asasi beliau. Syekh Ibnu Taimiyah menjawab: “Saya telah menghalalkan engkau dan memaafkan kesalahan semua orang yang memusuhi saya, orang-orang yang tidak faham akan kebenaran pendirian saya. Apalah artinya, kalau saya memaafkan Sultan Al-Mu’azzham, Raja An-Nashir yang telah menahan saya dalam penjara karena mendengarkan hasutan fitnah musuh-musuh saya. Ia berbuat itu tentu bukan karena suara hati kecilnya; kalau dia tahun bahwa saya benar, tentu ia tidak akan berbuat demikian kepada saya. Saya tegaskan, bahwa saya telah menghalalkan semua orang yang menyangkut tentang diri saya dengan mereka itu, terkecuali orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya”.

Al-Allamah Ibnul Qaiyim seorang murid terkemuka dari Ibnu Taimiyah berkata tentang gurunya itu demikian bunyinya: “Saya mendengar Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –semoga Tuhan mengkuduskan rohnya- berkata: “Di dunia ini ada terdapat surga, barangsiapa tidak memasukinya, tidak akan memasuki surga akhirat”. Dan suatu ketika ia berkata pula padaku: “Apa yang akan bisa diperlakukan musuh-musuhku kepadaku. Surgaku dan tamanku ada dalam dadaku; jika aku beristirahat, ia bersamaku dan tidak pernah berpisah. Terpenjaranya aku berarti khalwat (bersunyi diri dalam dzikir), terbunuhnya aku berarti mati syahid, diusirnya aku dari negeriku berarti pengembaraan”. Dalam tahanannya yang terletak dalam benteng itu ia berkata: “Andaikata dihargai benteng ini dengan sepenuh emas, tidak akan bisa menandingi syukurku kepada Tuhan atas nikmat terpenjaranya aku,” atau ia mengatakan, “tidak bisa saya membalas jasa-jasa mereka yang telah menyebabkan saya memasuki penjara ini yang membawa kebajikan bagiku dan yang seumpama itu.” Ini jelas sekali menunjukkan keberanian beliau menempuh hidup sebagai pejuang yang tidak gentar menghadapi ujian dan cobaan bagaimanapun pahitnya. Dengan ini jelaslah Ibnu Taimiyah bukanlah pejuang yang cengeng. Dan selanjutnya Ibnul Qaiyim berkata pula: “Allah maha Tahu, saya tidak melihat orang yang lebih baik kehidupannya daripada beliau sekalipun ia berada dalam kesempatan jauh dari kemewahan. Dan di kala dia dalam tahanan penjara penuh dengan tekanan dan perlakuan yang menekan perasaan, beliau dalam keadaan yang sedemikian itu justru sebaik-baik manusia dalam hidupnya, selapang-lapang dada, sekuat-kuat mental, dan seriang-riang hati yang semua nikmat itu terbayang dalam wajahnya. Dan demikian pula di kala kami berada dalam ketakutan dengan prasangka yang bukan-bukan yang seolah-olah bumi yang luas ini menjadi sempit bagi kami, kami datang kepadanya mencari obat. Maka demi kami melihat wajahnya dan menyimakkan kata-katanya, lenyaplah segala yang mendukakan hati itu, timbullah kelapangan hati kembali, kekuatan, keyakinan dan ketenangan jiwa….” Demikian Ibnul Qaiyim seorang muridnya yang masyhur dan berjasa kepada dunia Islam, seorang tokoh ulama yang juga dipenjarakan dalam penjara Damaskus itu bersama dengan gurunya, Ibnu Taimiyah.

Maka tatkala Ibnu Taimiyah meninggal dunia dalam benteng Damaskus itu, seluruh penduduk Damaskus (Damsyik) berkabung, dan Damsyik basah kuyup dengan hujan air mata. Seluruh rakyat laki-laki dan perempuan berduka cita, berdesak-desak menyerbu ke dalam bentuk di mana beliau Almarhum ditahan. Lawan dan kawan turut menyembahyangkan jenazahnya yang mulia itu, baik pemerintahy maupun non pemerintah turut berkabung atas kehilangan orang besar mereka. Ulama mujahid mereka yang telah berjuang dengan mata pena dan dengan mata pedangnya, Ulama yang sangat konsekuen yang dengan segala keberanian yang ada padanya sepanjang hidupnya mempertahankan kemurnian ajaran Islam sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah saw. Seluruh kegiatan di kota Damaskus terhenti. Sekolah-sekolah, kantor-kantor dan pasar-pasar ditutup, karena rakyat ingin mengantarkan guru besar dan tokoh utama mereka ke taman peristirahatannya yang akhir. Prof. Gibb seorang pengarang Nasrani yang masyur itu melukiskan duka-cita dan berkabungnya penduduk Syria waktu itu dalam bukunya “The Shorter Encyclopaedia of Islam”, “dapat dilihat bahwa 300.00 kaum laki-laki dan 15.000 kaum wanita telah turut mengantarkan Ibnu Taimiyah ke pusaranya.” Tetapi penulis Islam, Muhammad Syukri Al-Alusy dalam bukunya “Inayatul Amany” mengatakan, bahwa tidak seorangpun penduduk Damaskus yang ketinggalan, baik para Umara’ (Pembesar, Pejabat), tokoh-tokoh terkemuka, Ulama, Fukaha, tentara, laki-laki dan perempuan, anak-anak, khawas dan awam, kecuali tiga orang yang sangat memusuhinya, semuanya turut menyembahyangkan jenazah Ibnu Taimiyah. Yang tiga orang itu takut keluar rumah karena khawatir keamanan dirinya terganggu, karena mereka mengira, bahwa mereka akan dirajam, dibunuh mati, kalau mereka kelihatan oleh orang banyak.” “Berkata ahli sejarah,” demikian Al-Alusy, “tidak pernah terdengar dalam sejarah, orang seramai itu menyaksikan dan menyembahyangkan jenazah, kecuali jenazah Imam Ahmad bin Hambal.”

Sikap simpatik yang ditunjukkan rakyat itu adalah suatu bukti bahwa mereka, baik lawan maupun kawan pada hakikatnya mengagumi perjuangan yang gagah berani dari Ibnu Taimiyah yang tidak kenal menyerah. Badannya dapat mereka kurung dalam tahanan penjara, tetapi jiwanya tetap merdeka, bebas lepas pergi ke mana-mana menembus dinding tembok penjara itu. Dan beliau senantiasa memiliki kekuatan batin yang sangat dekat dan kukuh hubungannya dengan Tuhannya, dan alam penjara yang sunyi sepi itu, bagi seorang alim yang wara’ dan taqwa seperti Ibnu Taimiyah adalah merupakan tempat yang baik sekali untuk munajat, shalat dan dzikir serta berbisik dengan Tuhannya. Dapat dilihat bahwa penjara baginya bukanlah merupakan halangan dan rintangan buat berbakti kepada Allah SWT dan berkhidmat kepada masyarakat, terbukti betapa banyaknya karangan-karangan beliau yang lahir dari alam yang sempit itu.

Demikianlah kehidupan Ibnu Taimiyah yang penuh dengan irama hidupnya yang tersendiri sebagai pejuang dan penerus ajaran Rasulullah saw lain dari yang lain, dengan segala keberanian dan ketulusan hati yang ada padanya; Ulama pejuang yang belum banyak contohnya dalam abad modern ini. Berani di masyarakat dan berani di medan jihad.

0 komentar

Posting Komentar

Berikan komentar anda tentang artikel di atas, komentar yang tidak sopan/spam tidak akan dipublikasikan :

.

http://Link-exchange.comxa.com literatur islam, info software dan hardware, tips blogger, syiah sesat, sejarah islam nusantara Kostenlose Backlinks bei http://www.backlink-clever.de

Subscribe here