Aku menolak keras untuk beribadah haji, saat suamiku menyatakan niatnya untuk pergi ke Tanah Suci. Alasanku sederhana saja. Aku belum siap. Walau secara materi siap, hati kecilku belum terpanggil untuk menunaikan rukum Islam kelima itu. Suamiku terus membujukku dengan berbagai macam cara. Ia betul-betul ingin menghadap Allah di Tanah Suci Mekah bersamaku. Baginya, Mekah merupakan impian kerinduannya kepada Allah. Allah telah memberi segala kenikmatan lahir batin dan tiba saatnya untuk memenuhi panggilan suci ibadah haji tersebut. Tapi, aku tetap bergeming, aku tidak mau ikut dengannya, apapun alasannya.

Suamiku nyaris putus asa, hingga ia “mengancam” tidak akan pergi beribadah haji, bila tidak bersamaku, alias akan membatalkan niat sucinya itu. Ancaman itu tidak ada artinya bagiku. Akhirnya suamiku mengundang seorang ustaz untuk membujukku. Aku pikir, aku tak akan terbujuk oleh penjelasan siapa pun, bahkan seorang kiai sekalipun. Karena aku memang benar-benar belum ingin dan belum siap, apalagi aku juga tidak hafal doa-doa ibadah haji.

Namun, ustaz tersebut punya penjelasan lain yang sangat menyentuh kalbuku. “Ibadah haji sama dengan ibadah fisik. Soal calon jemaah harus bisa membaca doa itu nomor dua. Bukankah ada doa “Sapu Jagat” alias doa yang biasa kita ucapkan sehari-hari untuk kebahagiaan dunia dan akhirat? Yang penting bagi jemaah haji adalah niat suci, ketulusan hati, serta usaha membersihkan batin sebelum berangkat,” kata ustaz itu.

Aku tertegun. Melalui bimbingan ibadah haji sebuah biro perjalanan haji, aku mulai mempersiapkan diri, berusaha membersihkan diri lahir batin dengan antara lain, tidak merugikan orang lain dalam bentuk perkataan maupun tindakan; menjernihkan pikiran dengan tidak membebani berbagai macam problem kehidupan. Semua problem kehidupan yang ada, aku anggap hanya sebagai ujian, dan pemecahannya aku serahkan kepada Allah dengan jalan berdoa dan berdoa terus. Untuk menenangkan pikiranku yang cenderung kepada kehidupan duniawi, aku banyak membaca buku agama serta berzikir. Aku juga senantiasa menambah shalatku dengan shalat sunnah Tahajjud, Dhuha, dan Rawatib. Aku mencoba jujur terhadap diriku sendiri dan orang lain, walau sulit rasanya.

Semua cara itu aku lakukan dengan maksud agar mendapat kemudahan dan keselamatan selama dan sesudah menunaikan ibadah haji. Pasalnya, aku telah banyak mendengar dari para haji yang pernah ke Tanah Suci, sering terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, seperti kehilangan uang, barang, keluarga, tersesat, kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan fisik selama menunaikan ibadah haji. Semua itu membuat hati ini khawatir.

Setelah aku rajin beribadah, sakit kepalaku yang sering kumat, berangsur-angsur hilang. Aku sungguh merasakan kegembiraan, kebahagiaan, dan ketenteraman batin. Semua itu kuraih tanpa disengaja. Aku hanya punya niat baik untuk menjaga keselamatan saat nanti menunaikan ibadah haji. Dan alhamdulillah, aku bersama suami dapat beribadah haji dengan lancar dan banyak mendapat kemudahan. Anak-anakku yang ditinggal di rumah pun mendapat kemudahan bantuan dari saudara dan tetangga-tetanggaku secara tidak terduga. Ujian sekolah yang dikerjakan anak-anakku lulus semua. Mungkin ini berkat doaku ketika berada di Padang Arafah.

Sepulang dari tanah suci, rezekiku mengalir makin deras. Uang yang pernah kugunakan untuk ibadah haji, ternyata dalam waktu beberapa bulan digantikan oleh Allah SWT berlipat-lipat. Aku mendapat keuntungan uang dari dolar yang kusimpan hingga tiga kali lipat. Merasa uang itu “bukan milikku”, aku kembalikan lagi dengan cara menunaikan ibadah haji pada tahun berikutnya bersama anakku. Aku bersyukur bisa menunaikan ibadah haji yang kedua dengan lancar. Aku benar-benar merasa bahagia bila berada di Tanah Suci. Aku juga merasakan nikmat yang luar biasa bila beribadah di sana. Aku meraih semua kebahagiaan dan kenikmatan beribadah haji, karena aku benar-benar melepaskan atribut keduniaanku, seperti harta benda, pangkat dan jabatan, suami, dan anak-anak. Yang ada dalam hatiku hanyalah Allah.
Aku pasrahkan semua kepada Allah tanpa ada rasa takut dan khawatir. Setelah aku melakukan semua itu dengan ikhlas, tidak terasa mengalirlah kebahagiaan yang tidak pernah aku alami sebelum ibadah haji.

Terima kasih Ya Allah, Engkau Maha Penyayang dan Pengasih. Engkau tambatkan hati ini di rumah-Mu, hingga hamba selalu rindu untuk kembali memenuhi panggilan-Mu.

Oleh : S. Harsono

0 komentar

Posting Komentar

Berikan komentar anda tentang artikel di atas, komentar yang tidak sopan/spam tidak akan dipublikasikan :

.

http://Link-exchange.comxa.com literatur islam, info software dan hardware, tips blogger, syiah sesat, sejarah islam nusantara Kostenlose Backlinks bei http://www.backlink-clever.de

Subscribe here