Teror adalah pesan. Teror bukanlah sekedar bom, darah, senjata, kekerasan dan kematian, tapi ia mengandung makna yang dalam akan sebuah eksistensi yang terabaikan dalam proses interaksi manusia. Ia berasal dari suatu ruang di mana eksistensi itu tidak bisa lagi dikomunikasikan dalam bentuk kata-kata. Kata-kata menjadi tidak bermakna, karena pihak yang diharapkan untuk mendengar kata-kata itu menjadi tuli. Komunikasi dimonopoli oleh satu pihak yaitu penguasa, baik pada level lokal, nasional maupun internasional, dan meminggirkan pihak lain entah itu bernama ras, suku, bangsa maupun agama.
Teroris adalah sender (pengirim pesan) yang sedang mengkomunikasikan sesuatu kepada receiver (Penerima pesan), yaitu penguasa yang memonopoli komunikasi. Penguasa dengan segala elemen kekuasaannya berupa uang, media, fasilitas, dan pengetahuan cenderung bersikap egosentris dan menutup ruang-ruang dialog. Kalaupun dialog dilakukan maka itu hanya sekedar formalitas di meja makan. Tak ada hasil.
Saat ini Israel kembali melanjutkan pembangunan permukiman Yahudi di Jerusalem Timur, setelah sebelumnya lambat tapi pasti, merampas tanah-tanah warga Palestina. Lalu, dimanakah kesepakatan dialog selama ini untuk memastikan Israel dan Palestina hidup berdampingan dan mengembalikan hak-hak warga Palestina yang telah dirampas? Beranikah Amerika Serikat dan Uni-Eropa untuk mencegah sekutunya Israel melakukan hal itu? Jika kita sepakat bahwa terror menciptakan ketakutan, kehancuran dan kematian, bukankah Israel sedang melakukan tindakan terror? Penguasa akan membenarkan tindakannya dan merasa benar sendiri. Kekuasaan cenderung korup. Ia selalu merasa menjadi sentrum yang harus diikuti oleh yang lain. Konformitas dan dukungan terhadap kepentingannya akan dianggap sebagai mitra, sedangkan penyimpangan dan perlawanan oleh suatu kelompok akan dicap sebagai teroris. Inilah yang disebut dengan standar ganda (double standard).
Amerika dan sekutunya sibuk berkhutbah tentang Hak Asasi Manusia, tapi di saat yang sama membenarkan tindakan pelanggaran HAM yang mereka lakukan di Irak, Afghanistan dan Palestina. Dengan justifikasi penumpasan terorisme, para penduduk di negara-negara ini dibunuh. Irak dihancur-leburkan dengan menuduh Saddam Hussein menyembunyikan senjata pemusnah massal. Padahal sampai detik ini, tuduhan itu tidak terbukti. Selanjutnya adalah para pejabat Israel telah digiring ke Mahkamah Internasional untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka menyerang Palestina tahun lalu? Tidak tanggung-tanggung, jumlah korban meninggal melebihi angka 1000, yang sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Dan kini, Israel kembali bersikap sewenang-wenang membangun apartemen untuk permukiman Yahudi di Jerusalem Timur.
Pada berbagai kesempatan para “teroris” mengatakan bahwa mereka akan melawan siapa saja yang selama ini telah menciptakan ketidakadilan, pembunuhan, dan merampas hak-hak kaum muslim. Selama ketidakadilan itu terjadi, maka selama itu pula terror akan tetap hidup. Di satu sisi, bom bunuh diri tidak dibenarkan, tapi di sisi lain penguasa harus membuka diri dan bersikap adil.
Pada titik yang timpang inilah, lubang hitam komunikasi terjadi. Komunikasi adalah esensi kehidupan manusia. Sifat manusia adalah ingin didengarkan, diperhatikan, dan dihargai. Pengingkaran terhadap esensi ini, baik pada level terendah sampai ke level tertinggi, sedikit demi sedikit akan menyebabkan lubang hitam berupa benturan atau gesekan baik pada level verbal berupa kata-kata maupun non-verbal berupa tindakan fisik. Ketika bahasa verbal buntu, maka bahasa non-verbal berupa bom dan senjata akan berbicara. Komunikasi bukanlah sekadar pertukaran tanda-tanda, tapi bagaimana pengirim dan penerima menjadikan tanda dan maknanya untuk saling mendengarkan, menghargai, dan menyelami. Komunikasi membutuhkan kesetaraan. Hal ini hanya bisa dilakukan jika masing-masing pihak menahan diri untuk tidak memaksakan kehendaknya. Masing-masing lebih mendahulukan kepentingan teman (bukan lawan) bicaranya daripada kepentingannya sendiri. Inilah esensi komunikasi yang bisa dibawa ke semua level baik lokal, nasional maupun internasional.
Indonesia, misalnya, mempunyai sejarah kelam disintegrasi oleh beberapa wilayah atau provinsi. Hal ini terjadi karena pada tingkat komunikasi dan implementasi, pemerintah pusat cenderung memaksakan kehendak dan mengabaikan aspirasi lokal. Begitupula dengan aksi-aksi unjuk rasa yang sering terjadi belakangan ini. Unjuk rasa artinya menunjukkan perasaan atau keinginan dengan menggunakan berbagai tindak komunikatif dengan tujuan agar didengarkan dan dihargai. Tak ada komunikasi yang terjadi pada ruang-ruang kosong. Konteks saat ini adalah telah terjadi ketimpangan pembangunan dan penguasaan sumber daya alam pada setiap level yang memicu kelimpahan pada satu sisi dan kemiskinan di sisi lain. Tanda-tanda ketimpangan ini sebetulnya sudah sangat lama terjadi ketika kapitalisme memberikan ruang kepada siapa saja untuk bertindak sewenang-wenang lalu menutup ruang-ruang dialog yang berujung pada “yang kuatlah yang menang”.
Pesan terorisme hadir dengan tujuan untuk mengingatkan kepada dunia bahwa ada yang salah dengan penyelenggaraan sistem global yang cenderung abai. Kekuasaan perlu meredefinisi diri dan menempatkan kesetaraan dan penghargaan kepada setiap kelompok di atas segala-galanya. Sekali lagi, terorisme bukanlah atas dasar agama. Tak ada agama yang menganjurkan kekerasan. Justru sebaliknya, agama menganjurkan perdamaian. Ia adalah rahmat yang diturunkan oleh Allah SWT agar hamba-Nya senantiasa saling mengasihi. Yang paling mungkin adalah agama dijadikan sebagai justifikasi untuk membenarkan tindakan politik seseorang atau kelompok.
Bukankah Yahudi, Kristen dan Islam berasal dari satu sumber yang sama? Kedatangan satu agama setelah agama yang lain adalah untuk saling melengkapi satu sama lain. Namun sayang, kepentingan politik telah memporak-porandakannya.
Oleh : Andi Muhamad Irawan (Asisten Dosen FBS UNM, dan Mahasiswa ELS PPS FIB Unhas)
Ya. Saya setuju. Teroris bukanlah berlandaskan agama. Islam yang sebenranya adalah islam yang cinta perdamaian dan anti kekerasan. Allah SWT menyelamatkan nabi Ibrahim dari pengorbanan yang ia lakukan untuk membuktikan bahwa rasa setianya pada agama Allah SWT. Jadi tolong wahai para teroris, jangan mengatasnamakan Islam sebagai dasar bagimu untuk berjihat karena sesungguhnya ada cara jihat lain yang lebih mulia dari itu, yaitu menuntut ilmu setinggi tingginya dan melawan perang Ghauzul Fikri yang sedang terjadi.