Para ulama berpendapat mengenai apakah benar Nabi Muhammad saw pernah mengharamkan nikah mut’ah itu. Larangan Umar bin Khattab ra terhadap nikah mut’ah bukan pengharaman suatu syari’at, tetapi demi menjaga kemaslahatan umat kala itu. Salah satu pendapat yang kompromistis ialah bahwa Nabi Muhammad saw dua kali mengizinkan nikah mut’ah dan dua kali melarangnya. Larangan ini bukan pembatalan, tetapi penyesuaian dengan kondisi, kebutuhan yang mendesak atau darurat. Maka nikah mut’ah itu hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat, seperti bepergian jauh atau perang dan tidak membawa istri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama telah ijma’ baha Nabi Muhammad saw telah mengharamkan nikah mut’ah di dalam hadits yang shahih. “Dulu saya mengizinkan kamu nikah mut’ah dengan wanita, dan Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Maka barangsiapa yang di sisinya ada wanita (yang dinikahi secara mut’ah) maka biarkanlah ia pergi dan janganlah kamu mengambil (kembali) sedikitpun apa yang kamu berikan kepada mereka” (HR Muslim). Dari Salam bin Al-Akhwa berkata: Rasulullah saw telah memberikan kelonggaran pada tahun Authas untuk nikah mut’ah selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya (HR Muslim). Berkata Ali ra: Nabi saw telah melarang nikah mut’ah pada tahun (Khaibar). (HR Bukhari Muslim). Masih dari Ali ra bahwa Rasulullah saw telah melarang nikah mut’ah dan keledai kampung pada hari khaibar (HR Imam yang tujuh kecuali Abu Dawud), para Imam mazhab yang empat dan jumhur (mayoritas) para sahabat menetapkan bahwa nikah mut’ah hukumnya haram dan batil.
Larangan Umar ra adalah merupakan larangan syari’at karena ia paham bahwa Rasul saw telah mengharamkan nikah mut’ah dua kali setelah menghalalkannya dua kali pula. Ada beberapa sahabat yang tetap membolehkan praktik nikah mut’ah karena belum mendapat informasi lengkapnya. Namun setelah Umar ra melarangnya, maka mereka sepakat 9ikut larangan tersebut sehingga dapat disebut ijma’ sahabat. Berkata Mamduh al-Buhairiy: sewaktu Umar ra menetapkankan larangan nikah mut’ah di hadapan para sahabat ra, maka tidak seorangpun diantara mereka yang menyanggahnya. Padahal para sahabat sangat kritis terhadap hal-hal yang bertentangan dengan agama. Para khalifah pun tidak segan-segan mengubah pendapatnya jika bertentangan dengan kebenaran.
Andaikata larangan Umar ra terhadap nikah mut’ah ini tidak sesuai syariat, pasti para sahabat menegurnya. Bahkan di antara para sahabat yang ada pada saat itu adalah Ali ra, apakah beliau akan mendiamkan kesalahan Umar ra. Bukti kebenaran larangan Umar ra terhadap nikah mut’ah ialah bahwa setelah Ali ra menjabat khalifah, beliau tetap mengamalkan larangan Umar itu dan tidak mengubahnya. Setelah jelas status nikah mut’ah itu diharamkan maka yang diharamkan itu tidak boleh menjadi solusi bagi remaja atau lelaki yang merasa dirinya darurat lalu menempuh nikah mut’ah. Membolehkan yang haram dengan alasan darurat tidak boleh sembarangan, bisa merusak norma agama, karena bisa memudah-mudahkan darurat, sehingga yang bukan darurat didaruratkan.
Ini jauh berbeda dengan masalah kebutuhan syahwat. Di sini tidak ada istilah darurat, jika tidak tersalurkan satu bulan, satu tahun, 10 tahun sama sekali tidak menimbulkan ancaman jiwa. Dalam hadits Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa jika seorang lelaki belum mampu kawin, maka berpuasalah. Jadi, disuruh untuk berpuasa, tidak disuruh nikah mut’ah. Juga ulama-ulama yang mu’tabar terutama imam empat mazhab sama sekali tidak menganggap nikah mut’ah sebagai solusi, bahkan sepakat mengharamkannya. Maka silahkan mencari solusi tapi jangan dengan yang diharamkan.
Oleh : M. Said Abd. Shamad (Pengurus MUI Makassar)
0 komentar